Terbangun dari tidur lelap oleh suara hujan. Deras. Tertumpah dari langit bagai air bah. Jam lima pagi. Kubuka pintu, duduk di teras, menikmati hujan. Hujan selalu membawaku pada sebuah kesyahduan, meski nggak ada aktivitas bercinta sekalipun (nggak ada yang ngajak dan diajak bercinta, maksudnya!).
Ingat Cici semalam yang dengan penuh semangat datang mengunjungiku. Dia sedang di Denpasar sampai akhir November ini. Cici ini adalah teman serumahku waktu di Banda Aceh. Kami berdua membuat suasana rumah jadi begitu rame dengan senda gurau yang seringkali bikin orang yang belum terbiasa dengan kami geleng-geleng kepala. Perutnya sudah membesar akibat aktivitasnya bercinta. Lima bulan. Kakinya udah mulai bengkak-bengkak (ih, Ci, bukannya 5 bulan terlalu awal untuk kaki bengkak-bengkak karena hamil?).
Ditengah hujan datanglah sebuah kabar dari seorang kawan: “Teto, anaknya Bebet, meninggal dunia setelah 10 hari dirawat di Panti Rapih karena leukemia”. Oh Tuhanku, leukemia!! Segera kukirim pesan ke Bebet: “Turut belasungkawa atas diambilnya Teto oleh Yang Punya Hidup. Percayalah, ini adalah yang terbaik buat dia dan orang-orang yang ditinggalnya”. Tentang Bebet, dia adalah seorang kawan lama. Terakhir ketemu dia waktu ngumpul-ngumpul di kawasan Kotabaru beberapa hari setelah Lebaran kemarin, setelah sekian tahun tak ketemu. Ada perasaan bahagia yang begitu meluap-luap ketika aku ketemu dengan kawan baik yang lama sekali terpisahkan oleh waktu. Catat komentarnya pada seorang kawan yang kami panggil si Oom, sesaat setelah dia muncul di ketemuan itu, “Walaaahhh pantesan, tak goleki kuburanmu neng ndi-ndi ra ketemu, jebul isih urip to kowe!!” (Walaaahhhh pantesan, aku cari kuburanmu dimana-mana nggak ketemu, ternyata masih hidup kau!!). Begitulah Bebet, yang bernama Albertus Darmawan Suwito. Dia adalah salah satu icon De Brito, sekolah khusus lelaki yang sekarang disebut SMU itu, pada jamannya. Image tentang De Brito di mataku adalah ‘liar nan pintar’. Hhmmm liar nan pintar…sebuah kombinasi yang sungguh menggoda!
Ada berita lain tentang seorang kawan lain. Bunyinya: “anakku udah lahir semalam, jam 11.30, laki-laki, 3.6 kg, 51 cm. belum ada nama” (idih, Iwan Fals banget!). Kubilang, “selamat datang untuk anakmu yang belum bernama itu, kawan! Katakan padanya, nikmatilah dunia ini. cepet kasih dia nama supaya aku gampang memanggilnya. kata orang Jawa, anak yg lahir pada jam2 segitu kelak akan jadi anak pemberani”. Kawan ini mengingatkanku pada Bang Mamat di Oxfam. Mereka berdua punya kesamaan: anaknya – orang Jawa bilang – ndrindil! Ndrindil tu…jarak usia antara satu anak dengan anak yang lain berdekatan (ya...satu sampai satu setengah tahun gitulah… dan biasanya mengacu pada jumlah yang nggak bisa dibilang sedikit (paling nggak 3 gitulah…karena kalau baru 2, biasanya belum disebut ndrindil). Sampai-sampai seorang kawan berkomentar ke Bang Mamat gini, “Bang, produktif kali …lama-lama nanti istrimu belum lagi melahirkan sudah hamil lagi…”.
Begitulah, dalam waktu kurang dari 15 menit, ada yang pergi dan ada yang datang. Bukankah hidup ini begitu adanya? Datang-pergi, masuk-keluar, itu biasa. Biasa banget! Nggak ada masalah. Yang bermasalah adalah kalau datang nggak pergi-pergi, atau pergi nggak datang-datang; masuk nggak keluar-keluar atau keluar nggak masuk-masuk! Nah, yang lebih bermasalah adalah kalau belum datang sudah pergi, belum masuk sudah keluar!!
Hujan. Rasanya dia mengikuti langkahku. Hari Rabu lalu ketika datang ke Jogja, pagi menjelang siang...Just landed! Dan suara Katon Bagaskara mengalun memenuhi kabin Lion Air. Pulang ke kotamu..ada setangkup haru dalam rindu…masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahaja…penuh selaksa makna…terhanyut aku akan nostalgi, saat kita sering luangkan waktu…nikmati bersama suasana Jogja…” Ah, baru kali ini aku landing di Jogja dengan ‘soundtrack’ lagu itu. Bikin aku nggak pengen segera beranjak dari tempat duduk. Dan malam harinya, hujan turun di Jogja, beruturut-turut selama 4 hari nggak brenti, hanya intensitasnya saja yang naik turun. Dan ini adalah hujan deras pertama yang membasahi Jogja.
Hujan. Rasanya dia mengikuti langkahku. Hari Minggu kemarin menjelang tengah malam, aku sampai Sanur. Senin malamnya, hujanpun mengguyur Sanur. Begitu juga Selasa malam, dan Rabu pagi.
Masih hujan. Dingin. Rasanya waktu berlari bagaikan setan, mengejarku, dan aku tak kuasa berlari lagi. Sebuah pertanyaanpun menyergapku, “Sampai kapan aku akan begini?”
Puri Kelapa,
7 Nov 07, pagi-pagi..
Kamis, 08 November 2007
Langganan:
Postingan (Atom)