Kamis, 08 November 2007

hujan...

Terbangun dari tidur lelap oleh suara hujan. Deras. Tertumpah dari langit bagai air bah. Jam lima pagi. Kubuka pintu, duduk di teras, menikmati hujan. Hujan selalu membawaku pada sebuah kesyahduan, meski nggak ada aktivitas bercinta sekalipun (nggak ada yang ngajak dan diajak bercinta, maksudnya!).

Ingat Cici semalam yang dengan penuh semangat datang mengunjungiku. Dia sedang di Denpasar sampai akhir November ini. Cici ini adalah teman serumahku waktu di Banda Aceh. Kami berdua membuat suasana rumah jadi begitu rame dengan senda gurau yang seringkali bikin orang yang belum terbiasa dengan kami geleng-geleng kepala. Perutnya sudah membesar akibat aktivitasnya bercinta. Lima bulan. Kakinya udah mulai bengkak-bengkak (ih, Ci, bukannya 5 bulan terlalu awal untuk kaki bengkak-bengkak karena hamil?).

Ditengah hujan datanglah sebuah kabar dari seorang kawan: “Teto, anaknya Bebet, meninggal dunia setelah 10 hari dirawat di Panti Rapih karena leukemia”. Oh Tuhanku, leukemia!! Segera kukirim pesan ke Bebet: “Turut belasungkawa atas diambilnya Teto oleh Yang Punya Hidup. Percayalah, ini adalah yang terbaik buat dia dan orang-orang yang ditinggalnya”. Tentang Bebet, dia adalah seorang kawan lama. Terakhir ketemu dia waktu ngumpul-ngumpul di kawasan Kotabaru beberapa hari setelah Lebaran kemarin, setelah sekian tahun tak ketemu. Ada perasaan bahagia yang begitu meluap-luap ketika aku ketemu dengan kawan baik yang lama sekali terpisahkan oleh waktu. Catat komentarnya pada seorang kawan yang kami panggil si Oom, sesaat setelah dia muncul di ketemuan itu, “Walaaahhh pantesan, tak goleki kuburanmu neng ndi-ndi ra ketemu, jebul isih urip to kowe!!” (Walaaahhhh pantesan, aku cari kuburanmu dimana-mana nggak ketemu, ternyata masih hidup kau!!). Begitulah Bebet, yang bernama Albertus Darmawan Suwito. Dia adalah salah satu icon De Brito, sekolah khusus lelaki yang sekarang disebut SMU itu, pada jamannya. Image tentang De Brito di mataku adalah ‘liar nan pintar’. Hhmmm liar nan pintar…sebuah kombinasi yang sungguh menggoda!

Ada berita lain tentang seorang kawan lain. Bunyinya: “anakku udah lahir semalam, jam 11.30, laki-laki, 3.6 kg, 51 cm. belum ada nama” (idih, Iwan Fals banget!). Kubilang, “selamat datang untuk anakmu yang belum bernama itu, kawan! Katakan padanya, nikmatilah dunia ini. cepet kasih dia nama supaya aku gampang memanggilnya. kata orang Jawa, anak yg lahir pada jam2 segitu kelak akan jadi anak pemberani”. Kawan ini mengingatkanku pada Bang Mamat di Oxfam. Mereka berdua punya kesamaan: anaknya – orang Jawa bilang – ndrindil! Ndrindil tu…jarak usia antara satu anak dengan anak yang lain berdekatan (ya...satu sampai satu setengah tahun gitulah… dan biasanya mengacu pada jumlah yang nggak bisa dibilang sedikit (paling nggak 3 gitulah…karena kalau baru 2, biasanya belum disebut ndrindil). Sampai-sampai seorang kawan berkomentar ke Bang Mamat gini, “Bang, produktif kali …lama-lama nanti istrimu belum lagi melahirkan sudah hamil lagi…”.

Begitulah, dalam waktu kurang dari 15 menit, ada yang pergi dan ada yang datang. Bukankah hidup ini begitu adanya? Datang-pergi, masuk-keluar, itu biasa. Biasa banget! Nggak ada masalah. Yang bermasalah adalah kalau datang nggak pergi-pergi, atau pergi nggak datang-datang; masuk nggak keluar-keluar atau keluar nggak masuk-masuk! Nah, yang lebih bermasalah adalah kalau belum datang sudah pergi, belum masuk sudah keluar!!

Hujan. Rasanya dia mengikuti langkahku. Hari Rabu lalu ketika datang ke Jogja, pagi menjelang siang...Just landed! Dan suara Katon Bagaskara mengalun memenuhi kabin Lion Air. Pulang ke kotamu..ada setangkup haru dalam rindu…masih seperti dulu, tiap sudut menyapaku bersahaja…penuh selaksa makna…terhanyut aku akan nostalgi, saat kita sering luangkan waktu…nikmati bersama suasana Jogja…” Ah, baru kali ini aku landing di Jogja dengan ‘soundtrack’ lagu itu. Bikin aku nggak pengen segera beranjak dari tempat duduk. Dan malam harinya, hujan turun di Jogja, beruturut-turut selama 4 hari nggak brenti, hanya intensitasnya saja yang naik turun. Dan ini adalah hujan deras pertama yang membasahi Jogja.

Hujan. Rasanya dia mengikuti langkahku. Hari Minggu kemarin menjelang tengah malam, aku sampai Sanur. Senin malamnya, hujanpun mengguyur Sanur. Begitu juga Selasa malam, dan Rabu pagi.

Masih hujan. Dingin. Rasanya waktu berlari bagaikan setan, mengejarku, dan aku tak kuasa berlari lagi. Sebuah pertanyaanpun menyergapku, “Sampai kapan aku akan begini?”


Puri Kelapa,
7 Nov 07, pagi-pagi..

Selasa, 02 Oktober 2007

Jiwa Baja Pangaksama

"Jiwabaja Pangaksama, begitu aku dinamai oleh orang tuaku.
AKu lahir di Yogya, 15 Juni 2001, di Panti Rapih. Aku lahir tanpa operasi dengan berat 3,5 kg".

Sukma Kanthi Nurani


"Sosokku keluar dari rahim emakku pada 9 Januari 2003 secara alamiah (aku tahu tahu bahwa orang tuanya nggak cukup punya banyak duit buat operasi sesar!) dengan berat 3,6 kg dan meninggalkan 12 jahitan di jalan lahirku...Aku punya seorang kakak, namanya Jiwa."

Jumat, 28 September 2007

tentang sebuah pulau di tengah danau keramat itu...

(kepada - in alphabetical disorder- Rheinhardt, Ayu, Mia, Ali, Iyak, Toni, Enda, Juang, Maureen, Airil, Udin, Kautsar, Ayi)

Hai semuanya..

Maaf, aku tak pernah bisa betah dalam hiruk-pikuknya kehidupan kota macam Medan, bahkan untuk 2 hari sekalipun.. Buatku, kota itu hanyalah tempat transit semata untuk kakiku melangkah lagi..

Aku memang mengikuti kemana kakiku ingin melangkah, untuk memenuhi rasa ingin tahuku, untuk memenuhi hasratku. Kalian tahu kan, kalau kita punya keinginan yang begitu amat sangat kuat, maka seluruh alam raya ini akan membantu kita untuk mencapainya (semacam "you can if you think you can"?). Oleh karena itulah, tanpa mengurangi rasa terimakasihku pada Rhein, aku abaikan saran Rhein via sms Enda untuk nyebrang keesokan pagi ketika kuberitakan bahwa feri terakhir akan nyebrang jam 20.30. Aku tetep nyebrang pada malam itu juga karena keyakinan penuh bahwa everything is gonna be alright (apa sih yang bisa mengalahkan sebuah keyakinan yang begitu penuh sampai tumpah ruah?). Maafkan aku tak mematuhimu, Rhein.

Dalam hatiku yang paling dalam aku tak pernah percaya pada apa yang orang bilang sebagai "kebetulan" karena sesungguhnya ada sebuah "behind the screen" yang tak mampu kita ikuti karena keterbatasan panca indra kita. Seperti halnya malam itu. Aku (dan Mia, tentu saja!) bertemu dengan seorang lelaki yang memperkenalkan diri sebagai Mr. Bloom (kayaknya sih orang Tuktuk tulen) yang malam itu sedang bertugas menjemput mobil bos-nya yang dikirim dari Medan. Dan tanpa dia sadari, sesungguhnya dia juga diberi tugas untuk menjemput kami berdua. Jadilah malam itu kami numpang mobil yang dia bawa ke penginapan Samosir, tempat dia melewatkan kesehariannya sebagai tangan kanan bos-nya dan tempat kami melewatkan malam itu dengan nyaman. Dan percayalah, itu semua bukan kebetulan. Itu adalah resultan dari sebuah keinginan kuat dan banyak faktor lainnya. See, everything was going well...

Aku selalu tergila-gila pada sunrise (juga sunset), riak air, bulan purnama, angin, awan, ombak, daun, dan embun. Oleh karena itulah keesokan harinya akupun bersetubuh dengan kemilau sunrise dan riak air danau keramat itu (tapi sesungguhnya bulan purnama, ombak, dan angin adalah paduan yang sempurna buatku..). Bebas. Tak perlu pakai kondom.

O ya, Rhein, kawan kecilmu, si Apul yang kau bilang itu, pasti nggak pakai kondom ya waktu bersenggama dengan dan pelacur di Losmen Gagak Hitam itu. Ah, si Apul waktu itu mana tahu kondom .. Perbincangan sebelumnya tentang penis ereksi mengingatkanku paling tidak pada 3 hal: Sigmund Freud, feminisme radikal, dan dildo. Sementara dildo, kondom dan pelacur membawaku jauh ke lorong-lorong sempit Sosrowijayan sekian tahun yang lalu. Aku pernah melewatkan sepotong waktu dalam hidupku disini, menjadi kawan mbak Menik, mbak Dewi, mbak Yayuk, mbak Eva, dll (ada dimana mereka sekarang ya?). Tiap kali pergi kesana, aku selalu masuk lewat gang sempit banget sebelah barat radio Unisi. Ini adalah lorong favoritku karena lorong ini selalu lebih "meriah" oleh gelak tawa perempuan dan lelaki dalam losmen-losmen yang aku lalui (ketika aku coba merecall memory-ku tentang nama-nama losmen ini, celakanya, tak kuingat satupun!! Ohh memory...). Di lorong-lorong ini pula-lah tak jarang aku dikuntit lelaki tak kukenal bertampang mesum, diajaknya ngobrol, ditanya tinggal di losmen mana, bla bla bla..dan kemudian mereka selalu ngacir manakala tahu aku menuju sebuah rumah bertuliskan "Griya Lentera PKBI DIY". Selain volunteer penanggulangan HIV/AIDS, disini juga ada kondom berdos-dos dan dildo berjajar-jajar. Perihal dildo, waktu awal2 aku sempat geli ngeliatnya. "Ih ini barang lucu banget sih bentuknya", pikirku menatapnya lekat-lekat sambil ketawa geli.

Oke, kembali ke pulau di tengah danau keramat itu.. Begitulah, kami sewa motor untuk berkeliaran, dengan berbekal selembar peta ala kadarnya yang kami dapat dari penginapan. Lagi-lagi, kami berjalan mengikuti kaki. Memang bener, disinilah letak kemerdekaan sepenuhnya. Bekas kerajaan Amarita, pemandian air panas di Pangururan itu (ah, aku kira ini sebuah pemandian natural, ternyata bukan!! Huhh!! Anyway, atmosphere di sekitar tempat ini sungguh luar biasa: sunyi sepi senyap tanpa ada setitik kesepianpun kalian rasakan, dengan beberapa ekor burung nan indah terbang melintas), dan danau bernama Sidihoni yang ada di tengah Samosir: semua itu kami jumpai dalam keliaran. Dan akupun senang!! Titik-titik view nan sangat menawan itu terpatri kuat dalam memory....

Tapi bagaimanapun juga, keliaran ini musti diakhiri. Dan tak ada satupun yang sediktator sang waktu dalam urusan ini.

Satu pesanku, jangan pernah minta aku bawa kunci. Selalu, dan pasti akan hilang. Sudah ada banyak pembuktian tentang hal ini. Paling tidak, sudah tiga kali aku ngilangin kunci kamar guest house sehingga kena "warning" oleh "ibu kost", dan yang paling up to date adalah aku ngilangin kunci penginapan Samosir sehingga si abang Bloon itu musti charge aku 50 rb perak untuk kunci yang hilang itu. Bagitulah, reputasiku dalam hal menyimpan kunci ini sama sekali nggak bisa diandalkan.

Satu lagi...aku sedang berpikir tentang next destination: Pulo Batee!!

asal-muasal

Yap, asal-muasal ini penting untuk dikisahkan, sebab tanpanya tak akan ada apa-apa. Semua terkait dengan asal-muasal, mulai dari jentik-jentik, lumut, bebatuan, daun, angin, awan, embun, gempa bumi, sampai manusia. Begitupun dengan lembaran ini.

Semuanya berawal dari sebuah obrolan yang sangat biasa di dunia absurd: sebuah pemberitahuan bahwa account email "jiwabaja" ku sudah nggak kupakai lagi, dan sebagai gantinya, kukirimlah sebuah account email baru. Dari sekian kawanku yang kukirim pemberitahuan itu, hanya seorang yang mempertanyakan "kenapa?". Dan dia bernama Tampah (jangan pernah percaya bahwa nama aslinya Tampah).

Aku bilang, "sebelum diprotes sama yang punya nama".
Dia bilang, "lho..bukannya itu bisa jadi warisan masa depan?"
Aku bilang, "ah..aku merasa nggak berhak lagi pakai nama itu, eh tepatnya nggak nyaman"
Dia bilang, "luwih apik jiwabaja_anaknya_ima atau ima_emaknya_jiwabaja"
Aku bilang,"luwih apik maneh ima_emaknya_jiwabaja_dan_sukmakanthi_istrinya_nono"

Dia ketawa, "wakakakak..bener, bener.."
Dan dia nambahi, "ima_emaknya_jiwabaja_dan_sukmakanthi_istrinya_nono_kancane_tampah_bekas_kacung_satunama"
Giliran aku yang ketawa "hahahaha..anda benar sekali"

Dia bilang, "apik kuwi"
Aku tanya, "nggo apa?"
Dia bilang, "nggo nggawe blog...mesti dha misuh-misuh le ngetik.."
Aku bilang, "o iya..gawea ngko tak nggone..."

Soal username dan password yang sempat miss berkali-kali dalam kelambatan bekicot koneksiku, aahhh itu dimaklumi dan dimaafkan saja...

Oke, over hand!! "Ingat username dan passwordnya ya..aku nggak mau ngingat2 lagi karena keterbatasan otakku", katanya (tanpa kau bilangpun aku tahu sih Tam kalau otakmu terbatas!! Eniwey, tengkyu).

Begitulah tentang asal-muasal.